Buku Harian Arilela: Mei 2011
Facebook Ariela »

Senin, 30 Mei 2011

HANYA sebuah Kisah,,mungkin anda pernah merasakan hal seprti inii...


"Aku pernah berfikir, bahwa setiap manusia pasti ingin memiliki seorang kekasih. Kekasih yang akan terus bersamanya, sehidup semati, dalam suka maupun duka tak akan terpisahkan.





Sekarang, aku memilih amal sholeh sebagai kekasihku. Karena ternyata hanya amal sholeh-lah yang akan terus menemaniku, bersamaku, bahkan menemaniku dalam kuburku, kemudian amal sholehku pula lah yang menemaniku menghadap Allah.





Aku pernah berfikir, setiap manusia pastilah punya goresan masalah dengan manusia lain, sehingga wajar jika manusia memiliki musuh masing-masing. Kini aku memilih menjadikan setan sebagai musuh utamaku, sehingga aku lebih memilih melepaskan kebencian, dendam, rasa sakit hati, dan permusuhanku dengan manusia lain.





Aku pernah selalu kagum pada manusia yang cerdas, dan manusia yang berhasil dalam karir, atau kehidupan duniawinya. Sekarang aku mengganti kriteria kekagumanku ketika aku menyadari bahwa manusia hebat dimata Allah, adalah hanya manusia yg bertaqwa. Manusia yg sanggup taat kpd aturan main Allah dlm menjalankan hidup n kehidupannya.





Dulu aku akan marah

dan merasa harga diriku dijatuhkan, ketika orang lain berlaku zhalim padaku, menggunjingkan aku, menyakiti aku dengan kalimat kalimat sindiran yg disengaja untuk menyakitiku. Sekarang aku memilih utk bersyukur dan berterima kasih, ketika meyakini bahwa akan ada transfer pahala dr mereka untukku jika aku mampu bersabar... Dan aku memilih tidak lagi harus khawatir, karena harga diri manusia hanyalah akan jatuh dimataNya, ketika dia rela menggadaikan dirinya untuk mengikuti hasutan setan.





Dulu aku yakin, dgn hanya khatam Al Qur'an berkali kali maka jiwaku akan tercerahkan. Kini aku memilih untuk mengerti dan memaknai artinya dengan menggunakan akalku, dengan mengaktifkan qolbuku dan mengamalkannya dalam keseharianku, maka pencerahan itu baru bisa aku dapatkan.





Ketika aku harus memilih, bantu aku Yaa Rabb, utk selalu memilih yg benar dimataMu......"

Minggu, 29 Mei 2011

Alam ku oleh Arilela Nurjanah


alam ku alam asri ku..

terpelihara flora dan fauna yang indah..

gunung-gunung,,sawah,dan kabut putih seakan mewarnai alamku ini,,

alam yang begitu menawan..



ku terus jelajahi di jalan setapak..

ku temui,,air jernih dan segar...

ku basuhi mukaku dengan air alam ku..

dan ku tegukkan sedikit air bening ini...



alam ku alam asri ku...

seakan ku bermimpi di tempat ini...

sungguh indah dan sungguh mempesona..

kuasaMU yang membuat Alam ku menjadi alam Asri ku...

Kearifan warga KAMPUNG KUTA-Ciamis melestarikan alam

16/04/2005 18:44

Liputan6.com, Ciamis: Tak banyak lagi masyarakat adat yang memegang teguh ajaran nenek moyang, terutama peduli terhadap kelestarian alam. Satu di antara yang sedikit itu adalah warga Kampung Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Hingga sekarang penduduk kampung yang dikelilingi bukit dan tebing tinggi dan berjarak sekitar 45 kilometer dari Ciamis ini dikenal sangat menghormati warisan leluhurnya. Adat dan tradisi menjadi salah satu peninggalan leluhur yang tak boleh dilanggar [baca: Orang Kuta Bersanding Adat, Merangkul Alam].



Salah satu warisan ajaran leluhur yang mesti dipatuhi masyarakat Kuta adalah pembangunan rumah. Bila dilanggar, warga Kuta berkeyakinan, musibah atau marabahaya bakal melanda kampung mereka. Aturan adat menyebutkan rumah harus berbentuk panggung dengan ukuran persegi panjang. Atap rumah pun harus dari bahan rumbia atau ijuk. Begitu pula pembangunan rumah yang mensyaratkan tidak boleh menggunakan bahan semen, melainkan hanya memakai bahan dari kayu dan bambu.



Terlepas adanya aturan itu, Kampung Adat Kuta memang istimewa. Bangunan mereka tampak sangat asri dan sederhana. Mereka bahkan tak memerlukan banyak biaya untuk membangun kediaman mengingat bahan-bahan yang digunakan semuanya berasal dari alam.



Kendati sederhana, model bangunan seperti itu memang dapat melindungi penghuninya dari berbagai macam gangguan, seperti binatang buas. Bahkan kalau dilihat dari bentuknya, rumah panggung yang terbuat dari bambu dan kayu itu tahan dari guncangan gempa. Apalagi, belakangan ini, sejumlah daerah di Tanah Air kerap dilanda gempa tektonik maupun vulkanik.



Keunikan lainnya, warga Kampung Kuta sangat dilarang membuat sumur. Air untuk keperluan sehari-hari harus diambil dari mata air. Larangan para leluhur mungkin ada benarnya. Ini lantaran kondisi tanah yang labil di kampung ini dikhawatirkan dapat merusak kontur tanah. Terutama membuat sumur dengan cara menggali atau mengebor tanah.



Tak berbeda dengan desa agraris lainnya di Pulau Jawa, masyarakat adat Kuta menggantungkan hidupnya dengan menanam padi. Lahan yang subur di Kampung Kuta menyebabkan hasil panen sangat berlimpah setiap tahunnya.



Selain patuh dan teguh memegang tradisi, masyarakat adat Kuta juga dikenal rajin bekerja. Mereka pun masih menjunjung prinsip gotong royong. Tak hanya ketika bercocok tanam, warga Kuta pun bergotong royong dalam berbagai kegiatan. Tengok saja. Setelah bekerja seharian di ladang, warga kampung tak langsung pergi beristirahat. Masih banyak kegiatan yang dilakukan di malam hari.



Seperti malam itu, puluhan warga tampak berkumpul di balai desa. Seakan tak mengenal lelah, mereka terlihat bersemangat membuat kerajinan anyaman. Maklumlah, pohon bambu yang rimbun mudah ditemui di kampung tersebut. Bambu inilah yang kemudian mereka manfaatkan untuk membuat berbagai kerajinan tangan khas Kuta.



Malam itu memang tak seperti biasanya. Sembari sibuk menganyam, warga kampung ternyata mendapat hiburan lantunan tembang-tembang khas Tanah Pasundan. Sudah berhari-hari, mereka cukup sibuk. Dan bila tak ada halangan, menjelang tanggal 25 bulan Safar (bulan kedua dalam kalender Islam atau kamariah) warga akan mengadakan upacara hajat bumi dan nyuguh. Sekali lagi, sebuah ritual peninggalan leluhur yang tak boleh ditinggalkan, apalagi dilanggar.



Hari baru beranjak siang saat Maryono menyisir ladang. Maryono yang kerap disebut Pak Kuncen bersiap memasuki hutan keramat. Hutan adalah sentral kehidupan bagi masyarakat adat Kuta. Konon, dari hutan keramat itulah asal-muasal leluhur Kuta.



Alkisah, sekitar 1.200 tahun lampau, utusan Raja Cirebon bernama Ki Raksabumi tiba di hutan ini. Lantaran tertarik dengan keindahan dan keasrian alamnya, Ki Reksabumi alias Aki Bumi pun melakukan tapa panjang untuk mendapatkan berkah. Saat bertapa itulah, Aki Bumi mendapatkan sejumlah petunjuk gaib untuk menjaga kelestarian hutan keramat.



Kini, ribuan tahun sejak kematian Aki Bumi, Maryono dan anggota masyarakat adat Kuta lainnya tetap memegang wasiat sang leluhur, yakni menjaga hutan keramat. Nah, lantaran dianggap keramat, seluruh warga yang akan memasuki hutan harus memenuhi sejumlah peraturan. Antara lain dilarang memakai alas kaki saat memasuki hutan dan tak boleh meludah selama di hutan. Mereka juga dilarang memakai perhiasan emas, pakaian serba hitam, dan menggunakan tanda kepangkatan.



Begitu pula pengunjung yang hanya dapat memasuki hutan pada Senin dan Jumat, mulai pukul 08.00-16.00 WIB. Mereka pun harus ditemani oleh Pak Kuncen. Jika ketentuan ini dilanggar, maka pengunjung yang melanggar diyakini bakal mendapat musibah.



Hari ini, Pak Kuncen alias Maryono pun sengaja meluangkan waktunya masuk hutan keramat. Sebagai keturunan Aki Bumi, Maryono berniat meminta berkah untuk upacara nyuguh dan hajat bumi yang akan dilaksanakan esok hari.



Setiba di lokasi Aki Bumi bersemedi lebih dari seribu tahun lampau, Maryono kemudian bersimpuh sambil merapal doa-doa. Setelah memanjatkan doa dan sebelum pulang ke desa, tak lupa sang kuncen menuju sebuah kolam kecil di dalam hutan. Ia lalu membasuh diri sembari mengucap rasa syukur kepada Yang Kuasa. Membasuh diri seperti mengambil air wudu dalam ajaran Islam itu diyakini dapat membawa berkah bagi yang melakukannya. Sebelum berjalan kembali ke desa, sang kuncen tak lupa untuk menutup ritual doa.



Hutan Keramat itu sangat terjaga kelestariannya. Hal ini terjadi karena warga dilarang merusak hutan, apalagi menebang pohonnya. Apabila ada sejumlah pohon yang tumbang, kayunya pun tak boleh diambil. Bahkan mengambil ranting pohon pun tak diizinkan. Tak mengherankan, bila sejumlah mata air yang terdapat di hutan selalu terjaga dan tak pernah kering sepanjang masa.



Usailah tugas sang kuncen. Maryono kemudian berjalan pulang menuju kampung dengan perasaan lega. Dalam perjalanan ia masih berharap agar pesta rakyat kampungnya esok hari dapat berjalan lancar.



Keesokan harinya, saat matahari masih memancarkan sinar, sejumlah warga Kampung Kuta mulai keluar rumah. Hari ini, tepat tanggal 25 bulan Safar. Mereka bersiap-siap melakukan upacara nyuguh. Konon, upacara nyuguh ini muncul pada masa Kerajaan Pakuan Padjadjaran. Ketika itu utusan Raja Padjadjaran akan melakukan perjalanan ke Jawa Tengah.



Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Jateng, Kampung Kuta pun disinggahi oleh utusan Padjadjaran. Saat itulah warga Kampung Kuta menyambut utusan sang raja dengan cara menyuguhi sejumlah makanan khas.



Sesuai warisan leluhur, acara nyuguh itu harus dilakukan di pinggir Sungai Cijolang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap, Jateng. Pernah satu kali acara nyuguh tak dilaksanakan, tiba-tiba seluruh kampung mendapat musibah. Padi yang siap panen rusak parah, sedangkan sejumlah hewan ternak ditemui mati menggelepar. Warga menyakini kerusakan itu terjadi karena "utusan" Padjadjaran itu tidak disuguhi makanan. Alhasil mereka pun mencari makanan sendiri dengan cara merusak kampung.



Adapun perjalanan ke Sungai Cijolang sekitar lima kilometer. Kini, Pak Kuncen pun kembali memulai ritual. Doa kembali dipanjatkan sebelum warga menyantap makanan yang tersedia. Setelah berdoa, seluruh warga kemudian menyantap makanan yang dibawa dari kampung. Makanan khas yang harus ada setiap upacara nyuguh adalah ketupat dan nasi telur.



Seiring dengan itu sebagian warga di kampung mulai sibuk mempersiapkan acara hajat bumi. Para perempuan mulai berhias diri. Mereka agaknya ingin tampil cantik sebelum memasuki panggung. Riuh rendah alunan musik beriringan memasuki balai desa. Penduduk berusia tua maupun muda berbaur. Mereka bersyukur panen kali ini berjalan lancar. Pesta pun mulai digelar. Suara alunan alu pengupas gabah terdengar sambung-menyambung. Ini membuktikan panen padi berjalan sukses di Kampung Kuta.



Acara syukuran berlangsung hingga malam hari. Kesenian khas Bumi Pasundan pun ditampilkan, dari seni tayub, ronggeng gunung, hingga jaipong dangdut. Sekali lagi masyarakat Kampung Kuta bersuka ria. Mereka berharap tahun depan keberkahan masih menaungi desa tercinta.



Kearifan warga Kampung Kuta yang menyandingkan adat dengan pelestarian alam memang patut ditiru. Dengan kata lain, mereka dapat melindungi kelestarian hutan meski hanya berbekal kesederhanaan dan nilai-nilai tradisional.(ANS/Lita Hariyani dan Bambang Triono)